bisnisedia.com

Senin, 20 Juli 2015

Nafas merupakan anugerah dari alam, makanya hutan harus dilestarikan kehidupan anak cucu.



Hutan bagi warga Kasepuhan adalah paru-paru kehidupan. Kami menurunkan dua tulisan berturut-turut, Senin (10/12) dan Selasa (11/12), tentang bagaimana masyarakat Kasepuhan menjaga paru-paru desanya.

 Sebuah mobil pikap berwarna hitam berjalan pelan-pelan menuruni jalan sempit berbatu. Di bak bagian belakang tersusun rapi kayu-kayu gelondongan. Dua laki-laki duduk di atas kayu-kayu tersebut.

Wilayah yang mereka lewati masih termasuk ke dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Di wilayah itu, seharusnya pembalakan tidak diperkenankan, bahkan pelakunya diancam hukuman lima tahun penjara, menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Namun, tak ada yang terjadi dengan mobil itu hingga mereka keluar dari wilayah Taman Nasional. Tak ada petugas yang mengadang mereka. “Yang seperti itu justru nggak ditangkap petugas,” kata Iwan Suwandri, warga Kasepuhan yang menjadi pemandu kami.

Iwan mengeluhkan peraturan yang tidak tegas dan tidak adil diterapkan. “Padahal, warga yang hanya mengambil kayu-kayu ranting justru ditangkap dan ditahan sampai berbulan-bulan,” katanya.

Dalam perjalanan yang sama, kami juga melihat seorang laki-laki memunguti ranting dan menyusunnya di atas motor. Saat kami memotretnya, ia tampak ketakutan. “Itu nggak diadukan ke petugas, kan?” tanya lelaki itu kepada Iwan.

Warisan Leluhur

Hutan di Gunung Halimun memang menggiurkan bagi para pembalak. Mereka bisa mendapatkan kayu-kayu yang berkualitas bagus. Padahal, hutan bagi masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul Tataran Sunda, termasuk Kasepuhan Ciptagelar, Sinar Resmi, dan Ciptamulya, bagaikan rumah yang harus dijaga.

Hidup mereka banyak berkaitan dan bergantung pada hasil hutan. Tidak saja secara ekonomi, tetapi juga keterarahan hidup ke depan melibatkan peran hutan.

Mereka mendiami wilayah sekitar hutan itu sejak peradaban budayanya ada. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, misalnya, sangat bergantung pada hutan di Gunung Halimun yang terletak di sebelah timur laut Kasepuhan tersebut.

Setidaknya berdasarkan ucapan pemimpin Kasepuhan Ciptagelar Ugi Sugriana Rakasiwi atau Abah Ugi, Kasepuhan Ciptagelar telah memiliki dokumen resmi dari pemerintah Hindia Belanda untuk menempati wilayahnya dari tahun 1935.

Dalam dokumen itu ditegaskan wilayah yang mereka tempati adalah kawasan yang harus dikelola dengan kearifan budaya lokal. Tidak asal saja Hindia Belanda mengeluarkan dokumen itu. Tentu karena budaya Kasepuhan sudah bertahun-tahun ada dan mendiami wilayah itu.

Adat Kasepuhan mengenai hutan memang unik dan menarik. Mereka membagi hutan atas tiga zona. Zona pertama adalah Hutan Garapan (Leuweung Sampalan). Hutan ini boleh digarap menjadi persawahan, ladang, dan kebun. Siapa saja boleh menggarap asalkan tidak memiliki.

Zona kedua disebut Hutan Tutupan (Leuweung Tutupan). Hutan ini bisa digarap tapi harus seizin pemimpin adat. Pemanfaatannya pun hanya untuk keperluan membangun rumah. Hutan ini tak boleh dibuka, jika masih ada hutan garapan yang menyediakan keperluan rumah.

Zona ketiga adalah Hutan Titipan (Leuweung Titipan). Hutan ini tak boleh diganggu gugat. Tak ada warga Kasepuhan yang diizinkan memasuki hutan tersebut. Jika aturan itu dilanggar, sang pelanggar akan terkena kabendon (sesuatu yang buruk). Hutan titipan berfungsi sebagai penyimpan air.

Peran Abah dalam mengelola hutan begitu dominan. Misalnya, warga dilarang mengambil kayu di hutan tanpa seizinnya. Tidak setiap hari boleh mengambil kayu, karena tidak semua hari adalah hari baik untuk menebang kayu atau berhubungan dengan hasil hutan.

Fungsi hutan lebih dari sekadar menjaga mata air, yakni simbol kelangsungan hidup. Warga Kasepuhan percaya, jika alam dijaga kelestariannya, kehidupan manusia juga bisa terjaga dengan baik.

Dunia tidak hanya milik manusia sehingga dengan gampang ditaklukkan. Dunia adalah milik semua yang ada di dalamnya sehingga keseimbangan antara semua pemilik itu harus dijaga. Hutan merupakan pemberi tanpa pamrih, tak pernah menuntut haknya, kecuali memberi apa pun yang dimiliki.

“Wajar dan memang harus dipelihara. Tidak tahu kalau pandangan pemerintah,” ujar Abah Ugi.

Masyarakat adat Kasepuhan sangat paham hutan harus diperlakukan sebagai teman, bukan lawan. Hal serupa juga diungkapkan pemimpin Kasepuhan Ciptamulya Abah Hendrik.

Jika alam tidak seimbang, seperti hutan rusak, kata Abah Hendrik, maka akan berpengaruh pada hidup manusia sekitarnya. Jika manusia ingin hidupnya seimbang, alam harus dijaga. (Ida Rosdalina/Bersambung)

http://shnews.co/detile-12005-hutan-1-menjaga-paruparu-kehidupan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar