Selama hidup di sini, kewaspadaan saya akan lingkungan malah semakin tajam. Hidup di tengah lingkungan yang sangat memperhatikan kualitas alam sekitar membuat saya mendapatkan banyak ilmu tentang bagaimana kita bisa menyelamatkan lingkungan. Tidak harus jadi aktivis lingkungan à la Greenpeace yang berperahu kencang menuju kapal pemburu ikan paus, berdemonstrasi di depan gedung pertemuan WTO setiap tahun, atau berdiri tegar memblokade traktor dan mesin berat lainnya milik perusahaan kayu di tengah-tengah hutan Kalimantan, untuk bisa menyelamatkan lingkungan. Dulu saya berpikir seperti itu, dan sempat frustasi karena tidak punya keberanian untuk menjadi aktivis. Tapi ternyata saya salah, banyak jalan menuju Roma, seperti juga banyak cara untuk melindungi lingkungan.
Jadi bagaimana caranya untuk hidup yang ramah lingkungan?
1. Rubah pola belanja
Belilah produk dengan kemasan yang lebih ramah lingkungan. Bagi yang pernah sekolah marketing pasti tahu pentingnya kemasan untuk penjualan. Tak jarang kita lihat di pasaran, produk yang memiliki kemasan yang sangat canggih, apik, tapi sayangnya kurang ramah lingkungan Coba lihat produk biskuit, kadang bungkusnya berlapis-lapis. Lapisan luar, karton, kemudian diberi lapisan plastik dicampur alumunium, kemudian masih lagi dibungkus per-individual dengan plastik. Bayangkan berapa jumlah sampah yang dihasilkan hanya dengan mengkonsumsi satu biskuit!
Di sini, Nestle sempat kebakaran jenggot ketika kemasan baru coklat merek Cailler dikecam habis-habisan oleh para kelompok pencinta lingkungan. Kemasan yang sangat cantik, setiap keping coklat dibungkus rapi dan tersusun rapi di deretan rak plastik keras di dalam kotak transparan. Tapi berhubung bahan pembuat kemasan tersebut tidak dapat di daur ulang dengan gampang, jadilah para konsumen dihimbau untuk tidak membeli produk tersebut.
Membeli produk dengan jumlah besar juga bisa menghemat sampah kemasan. Dengan membeli satu kemasan tepung satu kilogram, misalnya, akan lebih baik daripada membeli dua kemasan tepung setengah kilogram.
Lihat asal usul produk. Proses globalisasi dan kemajuan teknologi transportasi membuat semakin menyatunya pasar dunia. Produk bisa diperjualbelikan tanpa memperdulikan batas negara atau jarak. Anggur dan tomat yang dulunya adalah barang langka selama musim dingin, sekarang bisa dengan gampang ditemukan selama bulan Desember sekalipun. Anggur dari Afrika Selatan, tomat dari Marocco, pisang dari Amerika Latin, bawang putih dari Cina, strawberri dari Israel, yang tersedia di supermarket dekat rumah menjadi bukti nyata proses globalisasi.
Tapi adakah yang sadar efek samping mengkonsumsi produk yang diimpor dari belahan dunia lain itu? Polusi udara yang dihasilkan oleh proses transportasi produk tersebut sangat mengguncangkan. Ingat, pesawat adalah media transportasi yang paling berpolusi! Dengan mengkonsumsi barang-barang impor seperti itu kita pun jadi ikut berperan dalam memperburuk perubahan iklim dan pemanasan dunia. Jadi di Swiss sedang diadakan kampanye untuk mengkonsumsi produk lokal dan produk musiman sesuai dengan musimnya. Saya pun jadi sangat hati-hati dalam membeli bahan makanan, dan harus menahan diri untuk tidak membeli buah anggur kesukaan saya yang berasal dari Afrika Selatan.
Kalau di Indonesia bagaimana dong? Saya tidak tahu seberapa maraknya buah dan sayuran impor dalam piring hidangan masyarakat Indonesia, tapi keperdulian lingkungan seperti ini bisa sangat membantu produksi lokal. Dengan membeli kentang produksi Jakarta ketika tinggal di Jakarta daripada keukeuh mencari kentang padang bisa membantu mengurangi polusi truk pengangkut kentang. Bagi yang nasionalis, keperdulian lingkungan bisa menambah retorika dukungan produksi dalam negeri. Pilih apel Malang yang lebih ramah lingkungan daripada apel Australia yang diimpor dengan polusi beribu kilogram karbon dioksida, contohnya.
Pilihlah produk daur ulang ketika tersedia. Kalau memungkinkan, pilihlah kertas, amplop, dan buku hasil daur ulang. Utamakan kompos hasil daur ulang sampah rumah tangga daripada pupuk kimiawi lainnya.
Pilihlah peralatan dan produk elektronik yang hemat energi. Contoh gampangnya saja, dengan memilih boklam lampu yang hemat energi. Saya rasa sudah banyak beredar di pasaran Indonesia. Memang harganya jauh lebih mahal, tapi jauh lebih hemat energi dan lebih tahan lama. Energi listrik yang disedot jauh lebih sedikit, rekening listrik jadi lebih murah, dan kalau semakin banyak pengguna listrik memilih produk elektronik yang hemat energi, energi listrik yang dibutuhkan dan digunakan pun jadi lebih berkurang dan mungkin…mungkin ya, tidak ada lagi jadwal mati lampu akibat minimnya tenaga listrik yang bisa disalurkan oleh PLN ke setiap rumah.
Mesin cuci, komputer, lemari pendingin, dsb, sekarang juga sudah banyak yang memiliki tipe hemat energi. Membeli mesin macam ini bisa menjadi cara investasi yang pintar dan ramah lingkungan. Saya sudah membuktikannya sendiri, dengan memilih berbagai alat rumah tangga yang hemat energi, rekening listrik di rumah jauh lebih murah daripada rumah mertua saya yang masih menggunakan alat elektronik jaman dahulu.
Belanja di dekat rumah. Dengan memilih untuk berbelanja di tempat yang lebih dekat, kita tidak perlu menggunakan mobil dan artinya mencegah polusi kendaraan.
2. Rubah pola konsumsi
Konsumsi produk bio dan kurangi mengkonsumsi daging merah. Produk bio maksudnya produk yang dihasilkan dengan tidak menggunakan bahan pestisida dan bahan kimiawi lainnya. Di sini, produk seperti ini lebih mahal karena biaya produksinya yang lebih tinggi (constant cost with constant yield of production), dibandingkan dengan hasil pertanian yang menggunakan pestisida dan pupuk kimiawi lainnya (constant cost with increasing yield of production). Mungkin banyak yang tidak tahu, tapi selain dianggap sebagai salah satu penyebab penyakit kanker, pestisida juga adalah salah satu penyebab polusi air tanah.
Terus apa hubungannya dengan sapi? Ternyata peternakan sapi dan berbagai hewan ternak lainnya, menurut laporan Food and Agricultural Organisation (FAO), adalah salah satu penyebab utama berbagai masalah lingkungan seperti: pemanasan global, degradasi tanah, polusi air dan tanah, dan hilangnya keanekaragaman biomass. FAO menerangkan kalau polusi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh hewan ternak berjumlah 18% dari total polusi gas rumah kaca.
Kalau dipikir-pikir, peringatan ini lebih pantas untuk masyarakat Eropa dan Amerika Utara yang memiliki budaya karnivora. Menu makanan Indonesia yang tidak terlalu didominasi dengan daging merah (sapi, kuda, kambing, dsb) saya rasa sudah cukup ramah lingkungan dalam hal ini. Tapi, tidak ada salahnya toh untuk lebih tahu. Jadi, lebih baik pilih gado-gado daripada steak 250 gr di Steak House. :)
3. Hemat di rumah
Banyak cara untuk menghemat listrik: Mematikan lampu ketika keluar ruangan, mematikan TV atau radio ketika tidak ada yang menonton atau menyimak, dan mematikan komputer atau TV secara total dan tidak membiarkannya “stand-by” semalaman. Mematikan TV lewat alat pengontrol jarak jauh biasanya tidak akan mematikan TV secara total. Beberapa peralatan elektronik juga tetap menyedot listrik selama kabel sumber energinya tidak dicabut dari colokan di dinding. Kalau di sini, kami disarankan untuk memakai sambungan colokan listrik yang bisa dipadamkan secara total. Kalau di Indonesia belum ada, saran saya, bila memungkinkan, cabutlah kabel dari colokan di dinding.
Kita bisa juga berhemat dengan lebih bijaksana dalam menggunakan energi alami. Begini, bangunan apartemen di sini biasanya dirancang sedemikian rupa untuk bisa memanfaatkan energi alami. Jendela selalu dibuat besar dan lebar, yang kemudian memungkinkan pemilik apartemen untuk memanfaatkan sinar matahari untuk menerangi ruangan. Sewaktu musim panas, dimana matahari bersinar terang dari jam 6 pagi sampai 9 malam, saya kadang tidak perlu menghidupkan lampu ruangan sama sekali seharian. Kalau panas pun cukup membuka jendela dan memanfaatkan semilir angin.
Jadi bagi yang ingin membangun rumah masa depan atau akan merenovasi, kenapa tidak mencoba untuk merancang rumah yang hemat energi?
Air juga perlu dihemat. Dari yang tidak membiarkan keran air selalu mengucurkan air bila tidak perlu, sampai memanfaatkan air hujan untuk menyiram tanaman di pekarangan.
4. Hemat di kantor
Gunakan printer hanya kalau benar-benar perlu. Jangan mentang-mentang ada printer gratis main cetak berbagai artikel atau email yang tidak perlu.
Hemat kertas. Cetak dengan menggunakan kedua sisi kertas, dan gunakan kertas kembali bila memungkinkan. Sisi kosong kertas bisa digunakan untuk mencetak draft surat atau untuk menulis. Saya ingat, dulu sewaktu saya magang di salah satu kantor PBB, ada kebijakan untuk menggunakan kertas kembali untuk mencetak berbagai draft atau memo internal. Di samping printer kantor, ada tempat penampungan kertas hasil print-out dan poto kopi gagal atau dokumen yang sudah tidak berguna. Setiap kita mau mencetak email atau apapun yang tidak ditujukan untuk publik luar, selalu disarankan untuk menggunakan kertas “daur ulang” ini. Lumayan, bisa menghemat kertas dan menumbuhkan sadar lingkungan di diri para pegawai kantor. :)
Gunakan tinta printer secara efisien. Kadang ketika hasil print-out sudah samar-samar, tinta printer masih bisa digunakan dengan cara mengocok-ngocok cartuche. Jangan lupa untuk mendaur ulang cartuche kosong. Beberapa perusahaan memiliki kebijakan daur ulang (HP contohnya), kotak tinta kosong tinggal dimasukkan kembali ke kotaknya dan dikirim kembali ke pabrik.
Gunakan lampu hanya kalau benar-benar perlu. Terkadang kita punya kebiasaan otomatis, masuk kantor langsung menghidupkan lampu ruangan. Padahal terkadang kita tetap bisa bekerja dengan baik menggunakan penerangan alami.
Cintailah tangga. Bagi mereka yang berkantor di gedung bertingkat, kalau memungkinkan lebih baik gunakan tangga daripada lift. Lima tingkat masih bisa kan dicapai dengan naik tangga, beda kasusnya kalau harus merayap sampai lantai 10.
5. Hemat di perjalanan
Sarannya cukup klasik: Hemat penggunaan mobil pribadi, utamakan penggunakan transportasi publik. Hindari pemakaian mobil 4×4 yang boros energi, dan gunakan alat transportasi alternatif seperti sepeda, sepatu roda (iya, di sini ada orang yang ke kantor dengan sepatu roda), atau jalan kaki. Hindari penggunaan alat pendingin di dalam mobil (iya saya tahu, kebijakan yang cukup mustahil bagi mereka yang tinggal di Jakarta), dan kalau memungkinkan berbagi mobil dengan teman atau tetangga. Berbagi mobil, maksudnya dengan menggunakan mobil bersama-sama, dari rumah ke kantor misalnya, ongkos bensin dan servis bisa ditanggung ramai-ramai dan polusi kendaraan pun jadi berkurang.
Intinya, tidak mustahil untuk merubah pola hidup menjadi lebih ramah lingkungan. Kita bisa tetap hidup dengan nyaman sambil menyelamatkan lingkungan bagi anak-cucu. Sebagai konsumer kita bisa menekan pihak produser dengan merubah pola belanja dan konsumsi. Tidak perlu jadi CEO sebuah perusahaan untuk bisa menuntut perubahan pola produksi menjadi lebih ramah lingkungan, dan tidak perlu jadi Menteri Lingkungan untuk bisa berbuat sesuatu bagi polusi udara di kota besar. Setiap tindakan berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar