Apa yang harus di jelaskan lagi mengenai Lingkungan.??
Bukalah Mata Kita..!! Lihat ada dimana kita.??
inilah lingkungan kita TEMPAT KITA HIDUP.. tentunya pasti manusia ingin menjalani hidup dengan kenyamanan dan ketentraman.. tapi mana.? manusia yg seharusnya menjaga lingkungan untuk kehidupannya sendiri justru malah merusaknya,,
Manusia dan lingkungan hidup (alam) memiliki hubungan sangat erat. Keduanya saling memberi dan menerima pengaruh besar satu sama lain.
Pengaruh alam terhadap manusiamanusia lebih bersifat pasif, sedangkan pengaruh manusia terhadap alam lebih bersifat aktif. Manusia memiliki kemampuan eksploitatif terhadap alam sehingga mampu mengubahnya sesuai yang dikehendakinya. Dan walaupun alam tidak memilikim keinginan dan kemampuan aktif-eksploitatif terhadap manusia, namun pelan tapi pasti, apa yang terjadi pada alam, langsung atau tidak langsung, akan terasa pengaruhnya bagi kehidupan manusia. Lingkungan yang indah dan lestari akan membawa pengaruh positif bagi kesehatan dan bahkan keselamatan manusia; sebaliknya, lingkungan yang buruk bagi kehidupan manusia. Tindakan eksploitatif manipulatif terhadap alam akan mengakibatkan kerusakan langsung terhadap alam, dan secara tidak langsung hal itu akan berdampak negatif bagi kehidupan manusia khususnya, dan kehidupan berbagai mahluk lain pada umumnya. Sebaliknya, apabila manusia menunjukkan kasih sayang yang besar terhadap alam, dengan memelihara dan melestarikannya, maka alam akan menjamin kelangsungan hidup manusia dalam suasana nyaman dan menyenangkan.
A. Teori Etika Lingkungan Hidup
Sikap dan perilaku seseorang
terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh bagaimana pandangannya terhadap
sesuatu itu, Kalau sesuatu hal dipandang sebagai berguna dan penting,
maka sikap dan perilaku terhadap sesuatu itu lebih banyak bersifat
menghargai. Sebaliknya jika sesuatu hal dipandang dan dipahami sebagai
sesuatu yangn tidak berguna dan tidak penting, maka sikap dan perilaku
yang muncul lebih banyak bersifat mengabaikan, bahkan merusak.. Manusia
memiliki pandangan tertentu pada alam, dimana pendangan itu telah
menjadi landasan bagi tindakan dan perilaku manusia terhadap alam. Dari
beberapa pandangan etika yang telah berkembang tentang alam disini akan
dibahas tiga teori utama, yang dikenal dengan Shallow environmental
Ethics, Intermediate Environmental ethics, dan Deep Environmental
ethics. Ketiga teori ini dikenal juga sebagai antroposentrisme,
biosentrisme, dan ekosentrisme. Ketiganya akan dicoba diterangkan
satu persatu, sambil meninjaunya secara kritis.
1. Antroposentrisme
Antroposentrisme (antropos =
manusia) adalah suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat
dari sistem alam semesta. Pandangan ini berisi pemikiran bahwa segala
kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai
berdasarkan manusia dan kepentingannya. Jadi, pusat pemikirannya adalah
manusia. Kebijakan terhadap alam harus diarahkan untuk mengabdi kepada
kepentingan manusia. Pandangan moral lingkungan yang antroposentrisme
disebut juga sebagai human centered ethic, karena mengandaikan kedudukan
dan peran morl lingkungan hidup yang terpusat pada manusia. Maka tidak
heran kalau fokus perhatian dalam pandangan ini terletak pada
peningkatan kesejahteraan dan kebahagian manusia di dalam alam semesta.
Alam dilihat hanya sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan
kebutuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Dengan demikian alam
dilihat sebagai alat bagi pencapaian tujuan manusia.
Tinjauan kritis atas teori antroposentrisme
Antroposentrisme didasarkan pada
pandangan filsafat yang mengklaim bahwa hal yang bernuansa moral hanya
berlaku pada manusia. Manusia di agungkan sebagai yang mempunyai nilai
paling tinggi dan paling penting dalam kehidupan ini, jauh melebihi
semua mahluk lain. Ajaran yang telah menempatkan manusia sebagai pusat
suatu sistem alam semesta ini telah membuat arogan terhadap alam, dengan
menjadikan sebagai objek untuk dieksploitasi.
Antroposentrisme sangat bersifat
instrumentalis, dimana pola hubungan manusia dengan alam hanya terbatas
pada relasi instrumental semata. Alam dilihat sebagai alat pemenuhan
dan kepentingan manusia. Teori ini dianggap sebgai sebuah etika
lingkungan yang dangkal dan sempit ( shallow environmental ethics ).
Antroposentrisme sangat bersifat
teologis karena pertimbangan yang diambil untuk peduli terhadap alam
didasarkan pada akibat dari tindakan itu bagi kepentingan manusia.
Konservasi alam misalnya, hanya dianggap penting sejauh hal itu
mempunyai dampak menguntungkan bagi kepentinmgan manusia.
Teori antroposentrisme telah
dituduh sebagai salah satu penyebab bagi terjadinya krisis lingkungan
hidup. Pandangan inilah yang menyebabkan manusia berani melakukan
tindakan eksploitatif terhadap alam, dengan menguras kekayaan alam demi
kepentingannya. Kepedulian lingkungan hanya muncul sejauh terkait dengan
kepentingan manusia, dan itupun lebih banyak berkaitan dengan
kepentingan jangka pendek saja.
Walaupun kritik banyak
dilontarkan terhadap teori antroposentrisme, namun sebenarnya argumen
yang ada didalamnya cukupm sebagai landasan kuat bagi pengembangan sikap
kepedulian terhadap alam. Manusia membutuhkan lingkungan hidupn yang
baik, maka demi kepentingan hidupnya, manusia memiliki kewajiban
memelihara dan melestarikan alam lingkungannya. Kekurangan pada teori
ini terletak pada pendasaran darin tindakan memberi perhatian pada alam,
yang tidak didasarkan pada kesadaran dan pengakuan akan adanya nilai
ontologis yang dimiliki oleh alam itu sendiri, melainkan hanya
kepentingan manusia semata.
3. Biosentrisme
Etika lingkungan Biosentrisme
adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar
moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut
Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri.
Bukan senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup
atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus
dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja
yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul
Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan
atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri,
seperti bertumbuh dan bereproduksi
Biosentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mem-
punyai nilai dalam dirinya
sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan demikian biosentrisme
menolak antroposentrisme yang menyatakan bahwa manusialah yang mempunyai
nilai dalam dirinya sendiri. Teori biosentrisme berpandangan bahwa
mahluk hidup bukan hanya manusia saja. Ada banyak hal dan jenis mahluk
hidup yang memiliki kehidupan. Hanya saja, hal yang rumit dari
biosentrisme, atau yang disebut juga life-centered ethic, terletak pada
cara manusia menanggapi pertanyaan: ”Apakah hidup itu?”. Pandangan
biosentrisme mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada
manusia atau pada mahluk hidupnya. Karena yang menjadi pusat perhatian
dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan, maka secara moral
berlaku prisip bahwa setiap kehidupan dimuka bumi ini mempunyai nilai
moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Oleh karena
itu, kehidupan setiap mahluk hidup pantas diperhitungkan secara serius
dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari
pertimbangan untung rugi bagi kepentingan manusia.
Tinjauan kritis atas teori biosentrisme:
Biosentrisme
menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan bahwa
kehidupan adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun
spesies lain dimuka bumi ini. Prinsip atau perintah moral yang berlaku
disini dapat dituliskan sebagai berikut: ” adalah hal yang baik secara
moral bahwa kita mempertahankan dan memacu kehidupan, sebaliknya, buruk
kalau kita menghancurkan kehidupan”.
Biosentrisme melihat alam dan
seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya sendiri. Alam
mempunyai nilai justru karena ada kehidupan yang terkandung didalamnya.
Kewajiban terhadap alam tidak harus dikaitkan dengan kewajiban terhadap
sesama manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam semata-mata
didasarkan pada pertimbangan moral bahwa segala spesies di alam semesta
mempunyai nilai atas dasar bahwa mereka mempunyai kehidupan sendiri,
yang harus dihargai dan dilindungi.
Biosentrisme memandang manusia
sebagai mahluk biologis yang sama dengan mahluk biologis yang lain.
Manusia dilihat sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan
kehidupan yang ada dimuka bumi, dan bukan merupakan pusat dari seluruh
alam semesta. Maka secara biologis manusia tidak ada bedanya dengan
mahluk hidup lainnya. Salah satu tokoh yang menghindari penyamaan begitu
saja antara manusia dengan mahluk hidup lainnya adalah Leopold. Menurut
dirinya, manusia tidak memiliki kedudukan yang sama begitu saja dengan
mahluk hidup lainnya. Kelangsungan hidup manusia mendapat tempat yang
penting dalam pertimbangan moral yang serius. Ahanya saja, dalam rangka
menjamin kelangsungan hidupnya, manusia tidak harus melakukannya dengan
cara mengorbankan kelangsungan dan kelestarian komunitas ekologis.
Manusia dapat menggunakan alam untuk kepentingannya, namun dia tetap
terikat tanggung jawab untuk tidak mengorbankan integrity, stability dan
beauty dari mahluk hidup lainnya. unjtuk mengatasi berbagai kritikan
atas klaim pertanyaan antara manusia dengan mahluk biologis lainnya,
salah seorang tokoh biosentrisme, Taylor, membuat pembedaan antara
pelaku moral (moral agents) dan subyek moral (moral subjects). Pelaku
moral adalah manusia karena dia memiliki kemampuan untuk bertindak
secara moral, berupa kemampuan akal budi dan kebebasan. Maka hanya
manusialah yang memikul kewajiban dan tanggung jawab moral atas
pilihan-pilihan, dan tindakannya. Sebaliknya, subyk moral adalah mahluk
yang bisa diperlakukan secara baik atau buruk, dan itu berarti
menyangkut semua mahluk hidup, termasuk manusia. Dengan demikian semua
pelaku moral adalah juga subyek moral, namun tidak semua subyek moral
adalah pelaku moral, di mana pelaku moral memiliki kewajiban dan
tanggung jawab terhadap mereka.
Teori biosentrisme, yang disebut
juga intermediate environmental ethic, harus dimengerti dengan baik,
khususnya menyangkut kehidupan manusia dan mahluk-mahluk hidup yang lain
di bumi ini. Teori ini memberi bobot dan pertimbangan moral yang sama
kepada semua mahluk hidup. Disini dituntut bahwa alam dan segala
kehidupan yang terkandung didalamnya haruslah masuk dalam pertimbangan
dan kepedulian moral. Manusia tidak mengorbankan kehidupan lainnya
begitu saja atas dasar pemahaman bahwa alam dan segala isinya tidak
bernilai dalam dirinya sendiri.
4. Ekosentrisme
Etika Lingkungan Ekosentrisme
adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme
dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem
diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi
menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu
keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan
saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi
bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah
diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa
diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh
memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan.
Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan
keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan
dalam ekosistem.
Ekosentrisme dapat dikatakan
sebagai lanjutan dari teori etika lingkungann biosentrisme. Kalau
biosentrisme hanya memusatkan perhatian pada kehidupan seluruhnya,
ekosentrisme justru memusatkan perhatian pada seluruh komunitas
biologis, baik yang hidup maupun tidak. Pandangan ini didasarkan pada
pemahaman bahwa secara ekologis, baik mahluk hidup maupun benda-benda
antibiotik lainnya saling terkait satu sama lainnya. Jadi ekosentrisme,
selain sejalan dengan biosentrisme-di mana keduanya sama-sama menentang
pandangan antroposentrisme- juga mencakup komunitas ekologis seluruhnya.
Jadi ekosentrisme, menuntut tanggungjawab moral yang sama untuk semua
realitas biologis.
Tinjauan kritis atas teori ekosentrisme:
· Ekosentrisme, yang
disebut juga deep environmental ethics, semakin dipulerkan denganversi
lain setelah diperkenalkan oleh Arne Naes, seorang filsuf Norwegia
dengan menyebutnya sebagai Deep Ecology[vi] ini adalah suatu paradigma
baru tentang alam dan seluruh isinya. Perhatian bukan hanya berpusat
pada manusia melainkan pada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan
upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat
dari dunia moral. Deep Ecology memusatkan perhatian kepada semua
kehidupan di bumi ini, bukan hanya kepentingan seluruh komunitas
ekologi.
· Arne Naes bahkan juga
menggunakan istilah ecosophy untuk memberikan pendasaran filosofi atas
deep ecology. “Eco” berarti rumah tangga dan “sophy” berarti kearifan
atau kebijaksanaan. Maka ecosophy berarti kearifan dalam mengatur hidup
selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas. Dalam
pandangan ecosophy terlihat adanya suatu pergeseran dari sekedar sebuah
ilmu (science) menjadi sebuah kearifan (wisdom). Dalam arti ini,
lingkungan hidup tidak hanya sekedar sebuah ilmu melainkan sebuah
kearifan, sebuah cara hidup, sebuah pola hidup selaras dengan alam. Ini
adalah cara untuk menjaga dan memelihara lingjkungannya secara arid,
layaknya sebuah rumah tangga.
· Deep ecology menganut
prisip biospheric egalitarianism, yaitu pengakuan bahwa semua organisme
dan mahluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu
keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Ini
menyangkut suatu pengakuan bahwa hak untuk hidup dan berkembang untuk
semua mahluk (baik hayati maupun nonhayati) adalah sebuah hak univerval
yang tidak bisa diabaikan.
· Sikap deep ecology
terhadap lingkungan sangat jelas, tidak hanya memusatkan perhatian pada
dampak pencemaran bagi kesehatan manusia, teapi juga pada kehidupan
secara keseluruhan. Pendekatan yang dilakukan dalam menghadapi berbagai
issue lingkungan hidup bukan bersifat antroposentris, melainkan
biosentris dan bahkan ekosentris. Isi alam semesta tidak dilihat hanya
sebagai sumberdaya dan menilainya dari fungsi ekonomis semata. Alam
harus dipandang juga darisegi nilai dan fungsi budaya, sosial,
spiritual, medis dan biologis.
B.Bumi sebagai kesatuan ekosistem
Untuk mengembangkan pandangan
yang semakin teapat terhadap lingkungan hidup diperlukan pemahaman yang
semakin baik tentang keadaan dan keberlangsungan berbagai lapisan
kehidupan yang terjadi di bumi ini. Sikap terhadap lingkungan juga
merupakan sikap yang secara langsung atau tidak langsung, sadar atau
tidak sadar diarahkan kepada dirim sendiri dan umat manusia seluruhnya.
Hal tersebut terjadi karena bumi merupakan suatu keanekaragaman hayati
yang saling bergantung satu dengan yang lainnya.
1.Ekosistem bumi
Ekosistem (dari kata yunani
oikos = rumah, dan systema = keseluruhan) dimaksud sebagai suatu unsur
kehidupan sebuah lingkungan (organisme), yang merupakan sebuah sistem,
yakni keseluruhan yang terdirin atas bagian yang saling terkait, dan
saling mempengaruhi. Bumi dapat dipandang sebagai suatu ekosistem yang
besar yang didalamnya terdapat berbagai ekosistem yang lebih kecil, ada
ekosistem lautan, ekosistem hutan, ekosistem pegunungan, ekosistem
sungai, ekosistem kawasan pantai, dan sebagainya. Semua ekosistem itu
mencakup seluruh bentuk kehidupan yang ada didalamnya, yang saling
berinteraksi satu sama lain dan saling mempengaruhi, sehingga
keseluruhan biosfer, atau keseluruhan lapisan kehidupan merupakan satu
ekosistem bumi.
2. Manusia hanya sebagai salah satu unsur
Walaupun manusia merupakan
mahluk yang paling maju, namun manusia hanyalah merupakan salah satu
lapisan kehidupan yang berlangsung di bumi ini, tidak lebih dari itu.
Manusia tidak memiliki independensi mutlak, di mana tidak mengalamim
pengaruh langsung atau tidak langsung dari lingkungan hidup sekitarnya.
Kenyataan yang tidak bisa di bantah bahwa ada hubungan dan saling
pengaruh antara manusia dan lingkungannya. Manusia dapat mempengaruhi
lingkungannya, dan sebaliknya juga, lingkungan pasti mempengaruhi
manusia. Kalau lingkungan rusak maka kehidupan manusia akan terancam,
dan pada akhirnya bisa punah.
3. Peran manusia terhadap lingkungan
Menurut para ahli bumi, bahwa
bumi kita ini sudah berusia 5 milyar tahun. Dua milyar tahun pertama
belum ada kehidupan di atasnya karena saat itu bumi hanya terdiri atas
benda-benda tak hidup seperti batbatuan, gas, dan partikel-partikel
debu. Namun bumi bersifat dinamis dengan berlangsungnya proses-proses
seperti: pergerakan tektonik, vulkanik, perubahan iklim dan sebagainya.
Proses-prose tersebut mempunyai daya destruktif sekaligus konstruktif,
mengubah sekaligus memantapkan. Semuanya terjadi silih berganti dalam
kurun waktu yang lama. Dari proses dinamis yang terjadi di bumi,
muncullah dalam alam ini unsur-unsur dasar pembentuk organisme hidup,
seperti hydrogen (H2), oksigen (O2) dan nitrogen (N2). Dengan adanya
unsur-unsur tersebut mulailah muncul kehidupan di bumi ini, diperkirakan
sekitar 3 milyar tahun yang lalu. Pada awalnya bentuk kehidupan yang
ada masih terbatas pada jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan tingkat rendah.
Melalui prose dinamis, kurang lebih 2 juta tahun yang lalu, lahirlah
jenis organisme baru yang dinamakan manusia. Manusia memiliki otak dan
sistem syaraf yang mampu menghasilkan kehendak dan perasaan, sehingga
membuatnya lebih mampu menyesuaikan diri dan bertahan dalam situasi
lingkungannya, bahkan juga mampu mencari alternatif untuk beradaptasi
serta mengatur lingkungannya sedikit demi sedikit.
Dengan demikian maka manusia
tidak hanya menerima pengaruh dari lingkungannya, tetapi juga memberikan
pengaruh yang semakin lama semakin besar terhadap alam. Kehadiran
manusia semakin memperkaya proses dinamis bumi yang sudah berlangsung
sejak awal keberadaannya. Kemampuan otak manusia dalam menemukan
pemikiran-pemikiran baru untuk menemukan teknologi yang semakin beragam
membawa dampak pengaruh besar terhadap alam. Manusia dapat mengeringkan
lautan, menciptakan hujan dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa bumi
tidak lagi mengalami proses dinamis tersebut pada dirinya sendiri,
melainkan sudah melibatkan manusian dan mahluk-mahluk hidup dalam proses
interaksi yang saling mempengaruhi. Pengaruh tersebut akan semakin
besar sejalan dengan berjalannya waktu. Hanya saja peran dan pengaruh
yang ditunjukkan manusia terhadap alam tidak membantu alam berkembang
kearah kesempurnaan. Intervensi manusia telah membawa dampak negatif
terhadap alam, dan berbagai lapisan kehiduan didalamnya.
C. Kesatuan Manusia dengan Lingkungan Hidupnya
1.Pengaruh Seleksi Alam
Seperti halnya mahluk hidup
lainnya, manusia terus berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia
mempengaruhi lingkungan hidupnya, dan sebaliknya, ia juga dipengaruhi
oleh lingkungan hidupnya. Manusia seperti adanya, yaitu fenotipenya
terbentuk oleh interaksi antara Genotipe dan lingkungan hidupnya.
Genotipe juga tidaklah konstan, melainkan terus menerus mengalami
perubahan karena adanya mutasi adanya mutasi pada gen dalam kromosomnya,
baik mutasi spontan maupun mutasi karena pengaruh lingkungan. Dengan
mutasi gen yang terjadi, maka manusia, walaupun hanya terdiri atas satu
jenis, yaitu homo msapiens, namun keanekaan (diversity) genotipenya
sangatlah besar. Ini terjadi pada nenek moyang manusia dimana dengan
adanya keanekaan genotipenya maka terbuka peluang besar untuk terjadinya
seleksi alam. Seleksi itu terjadi melalui faktor alam, dan tentu juga
melalui kekuatan sosial budaya. Kenyataan yang terjadi Hanya individu
yang sesuai atau dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dapat
berkembang. Hal itulah yang menyertai evolusi manusia dari nenek
moyangnya, Australopithecus africanus, menjadi manusia modern, homo
sapiens.
2.Gambaran Kedudukan Manusia dalam alam lingkungan
Tempat kedudukan manusia ditengah lingkungannya dapat dilihat dari dua segi:
Pertama: dari segi struktur perilaku dan kemampuan.
Dapat diurutkan sebagai berikut:
- Tingkatan anorganik (benda mati): hanya memiliki berat dan gaya, bergerak bukan atas kemauan sendiri.
- Tingkatan tumbuh-tumbuhan: sudah memiliki kehidupan untuk bertumbuh, tetapi masih bergantung pada kekuatan diluar dirinya.
- Tingkatan hewan: ada kehidupan dan pertumbuhan, ada semangat dan kehendak yang berdasarkan keteraturan (insting,naluri).
- Tingkatan manusia: mempunyai kelengkapan sebagai mahluk hidup yang berkehendak dan berakal budi, yang pada prinsipnya dapat berbuat menurut kemauan diri sendiri.
Urutan ini dapat digambarkan sbb:
Manusia
Tingkatan Hewan
Tingkatan Organik
Tingkatan anorganik
Sumber: Fredy Buntaran, OFM, Saudari Bumi...,
Dalam pandangan ini manusia berada pada kedudukan yang lebih tinggi daripada benda atau mahluk lainnya.
Kedua: Dari segi kedudukan dalam keseluruhan ekosistem dapat digambarkan sebagai berikut:
Ekosistem
Lingkungan
biotik
Lingkungan
abiotik
Manusia
Sumber; Fredy Buntaran, OFM, Saudari Bumi
Dalam gambar diatas kelihatan
bahwa manusia berada di unsur-unsur lainnya, tidak diatas dan tidak juga
dibawah yang lainnya. Nampak semua unsur membentuk suatu lingkaran
ekosistem yang berkaitan satu sama lain. Manusia dan unsur-unsur lainnya
memberi sumbangan kepada seluruh ekosistem dari tempatnya
masing-masing. Kedudukan seperti inilah yang lebih mencerminkan hubungan
antar unsur-unsur dalam suatu hubungan saling ketergantungan satu sama
lain.
D. Mengembangkan Paham yang tepat tentang lingkungan
Dari beberapa pemaparan
mengenai teori-teori etika tentang lingkungan, ditambah dengan gambaran
mengenai hubungan dan kedudukan manusia dalam alam semesta, perlu
dirumuskan suatu pemahaman dan sikap yang semakin baik dan
bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. Pemahaman yang semakin tepat
adalah pemahaman yang mendorong pada sikap dan perilaku yang semakin
menjamin keberlangsungan segala proses kehidupan yang terdapat di dalam
alam semesta ini, termasuk diantaranya, manusia.
1. Teori-teori etika lingkungan
Sudah diuraikan mengenai ketiga
teori utama etika lingkungan: antroposentrisme, biosentrisme dan
ekosentrisme. Ketiganya sama-sama menuntut kewajiban dan tanggung jawab
manusia terhadap alam. Antroposentrisme, banyak dituduh sebagai sumber
terjadinya eksploitasi lingkungan. Namun teori ini tetap menuntut
kesediaan manusia untuk memelihara lingkungannya. Teori biosentrisme,
memusatkan perhatian pada keseluruhan kehidupan yang memiliki nilai pada
dirinya sendiri, perhatian bukan hanya ditujukan kepada manusia
melainkan juga kepada mahluk hidup lain selain manusia. Teori
ekosentrisme menawarkan pemahaman yang semakin memadai tentang
lingkungan. Kepedulian moral diperluas, sehingga mencakup komunitas
ekologis seluruhnya, baik yang hidup maupun tidak. Ekosentrisme yang
semakin diperluas dalam deep ecology dan ecosophy, sangat menggugah
pemahaman manusia tentang kepentingan seluruh komunitas ekologis. Deep
ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat kepada manusia,
melainkan berpusat pada keseluruhan kehidupan dalam kaitan dengan upaya
mengatasi persoalan lingkungan hidup. Yang menjadi pusat dunia moral
bukan hanya lagi manusia, melainkan semua spesies, termasuk spesies
bukan manusia. Deep ecology bukan hanya sekedar pemahaman filosofis
tentang lingkungan hidup, melainkan sebuah gerakan konkrit dan praktis
penyelamatan lingkungan hidup. Inilah pandangan yang sebaiknya kita
kembangkan secara konsisten.
2. Deep ecology dan pengembangannya
Paham ekosentrisme semakin
diperluas dan diperdalam melalui teori deep ecology, sebagaimana
dipopulerkan oleh Arne Naess, yang menyebut dasar dari filosofinya
tentang lingkungan hidup sebagai ecosophy, yakni kearifan mengatur hidup
selaras dengan alam. Dengan demikian manusia dengan kesadaran penuh,
diminta untuk membangun suatu kearifan budi dan kehendak, suatu gaya
hidup yang semakin selaras dengan alam.
Ada 8 prinsip deep ecology yang dapat dilihat sebagai pandangan yang rata-rata dianut oleh pendukung deep ecology.
- Kesejahteraan dan keadaan baik dari kehidupan manusiawi maupun kehidupan bukan manusiawi di bumi, mempunyai nilai intrinsik. Nilai-nilai ini tak tergantung dari bermanfaat tidaknya dunia bukan manusiawi untuk tujuan manusia.
- Kekayaan dan keanekaan bentuk-bentuk hidup, menyumbangkan kepada terwujudnya nilai-nilai ini dan merupakan nilai-nilai sendiri.
- Manusia tidak berhak mengurangi kekayaan dan keanekaan ini, kecuali untuk memenuhi kebutuhan vitalnya.
- Keadaan baik dari kehidupan dan kebudayaan manusia dapat dicocokkan dengan dikuranginya secara substansia jumlah penduduk. Keadaan baik kehidupan bukan-manusiawi memerlukan dikuranginya jumlah penduduk itu.
- Campur tangan manusia dengan dunia bukan-manusia kini terlalu besar, dan situasi memburuk dengan pesat.
- Karena itu kebijakan umum harus berubah. Kebijakan itu menyangkut struktur-struktur dasar dibidang ekonomi, teknologi dan ideologi. Keadaan yang timbul sebagaimana hasilnya akan berbeda secara mendalam dengan struktur-struktur sekarang.
- Perubahan ideologis adalah terutama menghargai kualitas kehidupan (artinya, manusia dapat tinggal dalam situasi-situasi yang bernilai inheren), dan bukan berpegang pada standar kehidupan yang semakin tinggi. Akan timbul kesadaran mendalam akan perbedaan antara big(=kuantitas) dan great(=kualitas).
- Mereka yang menyetujui butir-butir sebelumnya berkewajiban secara langsung dan tidak langsung untuk mengusahakan mengadakan perubahan-perubahan yang perlu.
Manusia dapat saja menggunakan
alam ini demi kegunaan pada dirinya sambil memperhatikan tetap
terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup. Keselarasan yang betul
serta keseimbangan yang sehat antara kebutuhan manusia dan pelestarian
lingkungan menuntut juga penaklukan alam oleh kearifan teknik manusia.
Oleh karena dua sikap ekstrim berikut harus ditolak: Pertama, memandang
dan memperlakukan alam sejauh berguna bagi manusia dan menguasainya
sejauh dimungkinkan oleh kemampuan teknologi semata; dan yang kedua
adalah, faham ’mistisisme alam’ sejauh faham itu menganggap bahwa dunia
ini harus diterima begitu saja dan tak boleh di apa-apakan oleh manusia.
Kedua pandangan ini yang pertama, memutlakkan campur tangan manusia
terhadap alam, dan yang kedua menolak sama sekali campur tangan manusia
terhadap alam.
3. Kedudukan tepat manusia dalam alam.
Pandangan deep ecology patut
dihargai karena menempatkan manusia sebagai bagian dari alam. Pandangan
ekosentrisme juga bisa dibenarkan sejauh pandangan itu tidak melepaskan
manusia dari alam. Alam memang mempunyai nilai intrisik, yang tidak
tergantung pada manfaatnya untuk manusia. Akan tetapi, kita perlu juga
realistis melihat bahwa pendekatan teknokratis telah membawa manfaat
yang tidak perlu bahkan tidak perlu dihilangkan lagi. Yang harus ditolak
adalah pendekatan teknokratis yang merusak alam dan tidak
memeliharanya. Sebaliknya, jika kita menerima ekosentrisme, kita tidak
boleh jatuh dalam ekstrem lain, yaitu ”ekofasisme”, di mana manusia
sebagai individu dikorbankan kepada alam sebagai keseluruhan[vii]. Hanya
manusialah yang kita sebut ’persona” yang mempunyai martabat khusus,
yang tidak dimiliki oleh mahluk hidup lainnya. Biospherical
egalitarianisme tidak bisa dibenarkan bila dimaksudkan sebagai penyamaan
martabat semua mahluk hidup. Pengakuan bahwa segenap mahluk mempunyai
nilai dalam dirinya sendiri, termasuk dalam hal ini manusia, tidak boleh
membawa konsekuensi pengurangan derajat dan martabat manusia sebagai
satu-satunya mahluk di bumi ini yang memiliki akal budi dan kehendak
bebas. Akan tetapi pengenaan martabat istemewa kepada pribadi manusia,
martabat alam tidak dikurangi sedikitpun, tetapi justru ditingkatkan.
Dengan keistimewaan yang dimilikinya itu, manusia menjadi satu-satunya
mahluk hidup yang memilik tanggungjawab moral, terhadap dirinya sendiri
dan juga lingkungannya. Maka, melalui manusia, alam bertanggung jawab
atas nasibnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar